Sunday, December 24, 2017

Review Ayat-ayat Cinta 2 : Antara Tetap Setia atau Melupakan Masa Lalu

Pilih yang mana ya?

"Hal yang paling layak untuk dicintai adalah cinta itu sendiri dan hal yang paling layak dibenci adalah kebencian itu sendiri" 
 (Fahri, mengutip Syaikh Said Nursi)

Setelah hampir 10 tahun sejak film pertamanya muncul, akhirnya Ayat-ayat Cinta 2 kembali hadir di bioskop mulai tanggal 21 Desember. Alhamdulillah saya mendapatkan tiket di hari pertama pemutarannya yang hampir semua bioskop full house. Keuntungan nonton sendiri, ya itu, bisa dapat kursi walaupun bioskop sudah penuh. Hehehe…

Saya ingat tahun 2008, animo masyarakat begitu antusias dengan kehadiran film yang dilabeli “islami” ini. Saya yang saat itu gak pernah ke bioskop akhirnya kembali nonton ke bioskop. Waktu itu usai mengaji mingguan yang selesai pukul 11 malam, saya bersama seorang teman menonton A2C jam 23.45 di Setiabudi 21. Kemudian saking sukanya sama film ini nonton untuk kedua dan ketiga kalinya. Walaupun saya tidak habis membaca novelnya, tapi bagi saya film ini sangat bagus pada zamannya. Sempet ngedumel juga sih dengan beberapa pemain filmnya yang menurut saya kurang cocok, tapi tetap saja film ini masuk kategori bagus bagi saya. Oiya, karena film ini pula saya jadi rajin ke bioskop. Hahaha…


 
Poster film A2C2 yang ada dimana-mana (mahal boo)


Film A2C2 kali ini hampir 80% mempunyai karakter yang berbeda. Fahri tetap diperankan oleh Fedi Nuril (and he’s acting so well), Aisha kali ini bukan diperankan Riyanti Cartwright melainkan oleh Dewi Sandra. Peran tambahan yang baru ada di novel keduanya adalah Hulusi (diperankan Pandji P), Hulya (Tatjanan Saphira), Keira (Chelsea Islan), Misbah (Arie K. Untung), Nenek Chatarina (Ade Irawan), Brenda (Nur Fazura), dan lainnya. Sutradaranya pun berganti ke Guntur Soeharjanto dari sebelumnya Hanung Bramantyo. Kali ini Kang Abik turut mengawasi pembutan film ini.

Kisah dibuka dengan suasana konflik di Palestina. Aisha berada di daerah yang sedang dibombardir oleh Israel itu. Scene pun berganti saat Aisha terjatuh. Selanjutnya digambarkan kehidupan Fahri yang sekarang sudah menjadi Professor di Universitas Edinburgh. Kehidupan Fahri begitu sempurna, harta yang banyak, rumah yang mewah, usaha yang banyak, teman-teman yang baik, otak yang cerdas, dan banyak dikagumi oleh wanita. Inilah yang akhirnya menjadi konflik utama dalam film ini, hubungan Fahri dengan wanita-wanita itu. Sementara Fahri berusaha setiap dengan Aisha yang kondisinya tidak diketahui, namun wanita-wanita itu terus berada di sekeliling Fahri. Terus setia atau melupakan masa lalu. Cerita pun ditambahi dengan bumbu-bumbu rasisme, konflik Palestina-Israel dan hubungan antar manusia. Jika sudah membaca novelnya pasti akan mudah langsung menebak akhir dari cerita ini. Kalau saya, sebelumnya googling dulu cari spoiler isi bukunya jadi secara garis besar sudah tau isi ceritanya. Hehehe…

 
Foto "keluarga" jaman now. Btw, TS cantik ya pake hijab.

Dari film ini ada beberapa catatan dari saya baik kelebihan maupun kekurangannya. Berikut yang menjadi catatan saya :


KELEBIHAN

1. Film ini berani mengangkat isu Palestina – Israel yang secara kebetulan kondisinya sesuai dengan keadaan sekarang. Hal ini menurut saya cukup BERANI, karena PH yang memproduksi film ini adalah PH terkenal. Jarang-jarang ada PH yang mau menampilkan masalah dunia islam. Bagi Mas Guntur ini adalah film keduanya yang mengangkat isu Palestina setelah film “Jilbab Traveler Love Sparks In Korea”. Fahri menggambarkan muslim yang sangat toleransi terhadap agama apapun. Bahkan ada adegan yang Fahri menyebutkan, “Bukan Yahudinya yang kita benci, tetapi gerakan Zionis nya”. Itu bagi saya keren bingits! Lalu saat Baruch mengusir ibu tirinya, Chatarina, Fahri yang datang dan menolongnya. Padahal awalnya Chatarina sangat jutek pada Fahri. Pada saat debat pun Chatarina yang Yahudi yang menolong Fahri dari tuduhan Baruch. Pokoknya scene ini informatif banget deh!


2. Sinematografi yang ciamik. Entah kenapa kalau Mas Guntur yang jadi sutradara, saya selalu terhibur dengan gambar-gambar yang ada di filmnya. Pengambilan gambarnya indah dan suasananya asyik banget khas Mas Guntur banget deh. Mas Guntur berhasil menggambarkan Kota Edinburgh yang klasik, indah dan nyaman. Seorang teman yang dulu pernah kuliah di Inggris sampai baper saat menonton film ini, pengen kembali ke Edinburgh. Tapi benar ciamik apa yang ditampilkan di film ini. Lagi-lagi jadi bikin saya mupeng kesana.


3. Akting yang keren. Akting paling keren menurut saya adalah Fedi Nuril, yang hampir setiap scene sedih dia menguarkan air mata secara alami. Jadinya saya yang nonton ikutan sedih. Akting Tatjana Saphira, Chelsea Islan, dan Dewi Sandra juga bagus tapi menurut saya belum istimewa. Sebagai perbandingan yang disebut istimewa menurut saya adalah akting Laudya Cintya Bella di Film Surga Yang Tak Dirindukan. Akting mencuri perhatian justru datang dari Nur Fazura (kali ini bukan Nora Danish lagi yang dipakai) aktor asal negeri jiran yang walaupun kebagian peran kecil tapi bagi saya sangat memorable. Akting Pandji dan Arie juga bagus termasuk pula akting Ade Irawan. Tapi tetap belum istimewa. Catatan lainnya, akting para pemain bulenya pun tidak ada yang kaku. Beda dengan film BTDA yang menurut saya akting para bule nya “aneh”. Bahkan Milene Fernandez berbicara bahasa Inggris dengan menggunakan logat british yang menambah totalitas akting mereka.


4. Jalan cerita lancar dan mengalir. Nonton film A2C2 kali ini saya bener-bener gak pengen selesai. Seperti membaca buku yang difilmkan. Cerita mengalir lancar dan menarik. Tidak banyak adegan-adegan yang menurut saya tidak perlu. Sampai di akhir cerita pun terus mengalir dan lancar tanpa hambatan. Walaupun ada beberapa adegan yang menurut saya “ilogical” tapi untuk penonton umum mungkin masih bisa diterima.


5. Sarat hikmah. Udah gak perlu diraguan lagi kalau ini ya. Secara yang nulis kan Kang Abik, lulusan Al Azhar Mesir. Adegan sarat makna yang paling saya suka adalah saat Fahri sudah hampir putus asa dan dia meminta nasehat kepada Misbah di pelataran masjid. Juga saat seorang Imam yang bacaannya salah, diperbaiki oleh Fahri dan Imam itu tidak marah melainkan malah berterima kasih (padahal itu Imam Besar). Hal ini semakin menggambarkan bahwa Islam itu indah (jama'ah oh jama'ah...).


Nah, selanjutnya ini beberapa kekurangan yang saya temukan dalam film ini :

KEKURANGAN 

1. The Too Perfect Fahri. Tokoh Fahri bagi saya terlalu sempurna dan hanya akan ada di kehidupan novel saja (wajar ya, kalau penulis bisa melakukan apa saja dengan si tokoh). Sudah ganteng, pinter dan kaya pula. Setiap hal yang dilakukan Fahri pasti baik. Selain itu Fahri juga setia. Dia masih susah beranjak dari Aisha yang entah masih hidup atau sudah tiada. Kehadiran Hulya, Brenda dan Keira pun tak lantas membuat Fahri menjadi centil pada wanita-wanita itu, sebaliknya Fahri malah merasa risih dan menjaga jarak. Maka tak heran ketika Fahri meminang Hulya, tidak banyak penonton yang mempermasalahkan poligami ini. Padahal kalau karakter Fahri digambarkan jahat dan kejam, udah pasti langsung kena perundungan. Hehehe.


2. Beberapa jalan cerita yang dipaksakan. Misal ketika Sabina menjadi asisten rumah tangga di rumah Fahri, masa iya, Fahri tidak mengenali kalau itu Aisha? Padahal tokoh Sabina gak terlalu ketutup banget, malah matanya terlihat jelas. Masa sih Fahri tak mengenali mata istrinya cuma gegara istrinya sudah menjadi buruk rupa (kalau di film buruknya gak terlalu ketara sih). Katanya si Fahri cinta…hehehe. Kemudian saat Hulya meminta Aisha untuk face off wajah, apa iya penampilan itu yang paling utama sehingga Aisha yang berwajah buruk mesti cantik dulu agar cocok sama Fahri? Dan hasil face off nya yang 100% sama dengan wajah Hulya ditambah proses face off nya yang cepet bingits! Bagi penonton kritis seperti saya mungkin ini amat sangat mengganggu. Tapi dibandingkan dengan keseluruhan cerita, mungkin hal ini bisa tertutupi dengan baik.


3. Musik yang megah, penuh diva tetapi forgetable. Untuk sountrack film kali ini, pihak PH sampai meminta 4 diva terkenal, Raisa, Krisdayanti, Rosa, dan Isyana Saraswati. Tapi menurut saya lagunya belum ada yang makjleb. Berbeda saat A2C 1 yang hanya diisi Rosa dan Sherina, lagu-lagunya sampai sekarang pun masih terngiang dengan jelas. Sountrack nya yang sekarang memang mewah sih tapi bagi saya forgetable.


4. Ada adegan yang gak banget. Dan adegan ini ada di film A2C 1 maupun yang sekarang, yaitu adegan usai Fahri dan Hulya sholat sunnah bersama (saya gak mau jelasin maksudnya apa ya). Bagi saya itu langsung ngerusak isi film. Pentingnya apa dan apa perlu digambarkan seperti itu? Apalagi ini film Islami loh! Banyak orang tua yang mengajak anak-anaknya menonton juga menambah ke “enggak banget” an adegan ini. Kalaupun di cut kayaknya gak akan mengganggu jalan cerita deh.


Secara keseluruhan film A2C2 ini masuk kategori bagus dan layak ditonton. Tentu saja film ini tidak cocok ditonton anak-anak karena mereka bakalan ruwet dengan masalah cinta orang dewasa. Hahaha… Mewahnya film ini memang dapet dan sepertinya budgetnya gila-gilaan. Promosinya pun gak kalah gila. Itu poster film ada mulai dari di bilboard gede, kereta api, dll. Iklannya pun berseliweran di tivi-tivi nasional jadi gak akan mengherankan jika film ini nanti bakalan tembus 1 juta penonton. Mudah-mudahan aja bukan cuma kemewahannya aja yang di dapat oleh penonton tetapi hikmah yang ada di film ini juga bisa ditangkap.

Sekarang saya kasih score untuk film ini :

Akting 8.5/10
Skenario 8/10
Cinematografi 9/10
Overall 8.8/10


In the end, wajiblah ya bagi kita mendukung film-film Indonesia yang sehat dan bagus. Apalagi film ini berlabel “islami” jadi mesti banget didukung. Bukan malah menjelek-jelekkan atau mengajak orang untuk tidak menonton film ini. Beberapa kekurangan wajarlah ya, asalkan secara umum jalan ceritanya masih bagus dan dapat diterima. Saya sendiri merekomendasikan untuk menonton film ini. Yuk, nonton film ini dan bagi anda yang suami istri bisa-bisa jadi tambah lengket. Sedangkan bagi yang sendiri, siap-siap baper dan caper ya! Lol***(yas)





Bogor, 24th of December 2017
@RiceBowl BSB, 17.26 pm
Selamat ulang tahun Kendryo sayaangg….



 
Film kali ini diangkat dari buku AAC2 yang laris manis bak kacang goreng.


Saturday, December 23, 2017

Ibu, maafkanlah aku... (A belated Mother's day greetings)

Here laid down my beloved mom


“Kamu merawat Ibumu sambil menunggu kematiannya. Sementara Ibumu merawatmu sembari mengharapkan kehidupanmu”.
— Umar bin Khattab Ra


“Yas, could you build me a home?”


Minggu itu adalah minggu terakhir kalinya Saya bertemu dengan dia. Seorang wanita yang berbaring lemah di atas tempat tidurnya dengan tubuh yang semakin tirus.

Saya tidak menyadari bahwa itu adalah tanda terakhir yang diberikan olehnya sebelum akhirnya dia pergi selama-lamanya. Saya sempat “memaksa” nya untuk makan sesuap nasi beserta sup dan pudding kesukaannya. Walaupun pada akhirnya semua makanan itu tumpah kembali lewat mulutnya berupa cairan hijau seperti “klorofil”. Entah kenapa, Saya yang biasanya sangat jijik dengan muntah, langsung menenangkan ibu yang panik karena lantai menjadi kotor dan seprai di kasur berubah warna.

“It’s ok, mom. I’ll take over this.” ujar saya dan dengan segera membersihkan lantai dan mengganti seprai.

Andaikan Saya tahu ini adalah minggu terakhirku melihat wajahnya lagi, mungkin saya akan terus berada di rumah saja menemani hari-hari terakhirnya. Namun yang terjadi Saya malah kembali ke kost-an di Bekasi dan sibuk dengan segala hal.

Kemudian, Saya merasa enggan untuk pulang ke rumah minggu itu. Semua kakak-kakak saya sedang berkumpul di rumah untuk menghibur ibu. Saya ingin menyelesaikan beberapa urusan yang menunggu deadline nya, padahal itu adalah long weekend, Senin libur bertepatan dengan hari raya nyepi.

Tak lama, sebuah message masuk lewat ponsel saya, “Yas, mom sudah gak ada.” Pesan yang singkat dan padat dari kakak saya.

Pardon me? What actually did you mean?

Detik berikutnya ponsel saya kembali dibombardir dengan pesan-pesan serupa yang membuat Saya lemah tak berdaya. Saya menelepon balik kakak saya,

What did you mean? Are you serious? Don’t fool me!” Saya meradang keras. 

Namun kakak saya hanya mengatakan, “You can see her by your eyes!”. 

Saya menangis mearung-raung sendirian di dalam kamar kost. Minggu itu jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kakak-kakak saya yang lain menyarankan “Don’t ride a motorbike in this situation. You won’t be focus,” Tapi Saya tak memedulikannya. Saya menangis sepanjang perjalanan. 

“Mom… why? Why you leave me? Why? Why?”

Saat Saya berada di Rumah sakit tempat beliau dibawa tadi, Saya melihat kakak saya sedang duduk di samping tubuh ibu yang sudah terbujur kaku dengan wajah yang sudah ditutupi kain. Saya menangis sejadi-jadinya. 

“Mom….why? Why? I can’t bear this,” 

Yang ada pada saat itu adalah rasa penyesalan yang amat sangat kepada ibu saya. Kenapa saya tidak pulang dengan cepat? Kenapa saya masih sibuk bekerja? Kenapa saya… Kenapa saya?? Dan segudang penyesalan yang menggunung tinggi. Bahkan saat jenazah ibu dibawa pulang ke rumah pun, saya hanya jatuh tersungkur di kamar dan tak berhenti menangis. Beberapa kawan-kawan dan sahabat saya berusaha menghibur, namun I really feel nothing. I'm lose a single piece of puzzle in my heart. It tears me down, it breaks me so hard. Sampai ketika ibu saya dimasukkan ke dalam liang kuburnya pun saya seperti tak rela. Mengingat wajah tuanya saja sudah membuat saya susah untuk bernafas dan lagi-lagi….feel nothing!

Sehari setelah kepergiannya, gairah hidup saya menurun drastis. Saya berhenti makan untuk beberapa hari. Bahkan sesudahnya, usai makan saya selalu memuntahkan semua isi perut saya. Air mata selalu mengalir dalam kondisi apapun. Walaupun berusaha untuk tegar, kemudian saya akan berlari ke kamar mandi untuk menangis. Semangat hidup saya pun meredup. Mengingatnya kembali memberikan dampak yang sangat tidak baik bagi hidup saya. It really hard to move on! Sakitnya lebih sakit dari apapun, terlebih jika kau sangat akrab dengan ibumu. 

Selama 3 bulan dan kemudian 1 tahun perlahan-lahan saya mulai bangkit menata hati saya yang pecah. Walaupun sekarang mungkin sudah utuh kembali, tetapi bekasnya itu masih kentara. Layaknya sebuah gelas yang pecah dan kau menambal pecahannya agar utuh kembali, namun gelas itu masih ada bekasnya bukan?

Hanya Allah lah yang akhirnya menguatkan kaki ini untuk berdiri tegak kembali dan menatap sinar pada ujung sebuah kegelapan.

***

Saya dan ibu bisa dikatakan sangat akrab. Saking akrabnya, seorang sahabat pernah berkata, 

“Yas, ada gak ya hubungan anak dan ibu yang segila kamu?” 

Ya, saya sangat akrab. Bila ibu saya sedang makan dan saya melihat makanan yang dimakannya enak, pasti saya langsung minta disuapin dari piring ibu saya. Kadang saya tidur bersama ibu saya sambil menganggap tubuhnya sebagai guling. Kalau saya sedang gemes, pasti pipi ibu saya yang mulai keriput itu menjadi sasaran saya. Sering juga bergelayut manja di bahunya atau sekedar mencandainya. Jika ibu saya sedang marah, maka saya selalu meniru gesture-nya sehingga membuat ibu saya makin tambah marah. Tak lama kemudian tertawa. Kalau sedang gajian, sering membelikannya makanan yang enak-enak, yang ujung-ujung tak pernah dimakannya melainkan diserbu oleh keponakan-keponakan saya. Jika melihat baju daster pasti maunya beli untuk ibu saya. Maka dari itu teman saya merasa hubungan saya dan ibu saya “gila” karena bisa bercanda layaknya teman.

Suatu malam saat saya masih kuliah di Yogjakarta, telepon di rumah kost saya berdering. Waktu itu pukul satu malam dan saya masih asyik berkutat dengan tugas kuliah. Bapak kost yang mengangkat waktu itu dan suaranya terdengar sampai kamar saya yang kebetulan berada tak jauh dari tempat telepon itu berada. Tak lama Bapak kost itu memanggil saya, “Yas, telepon dari Jakarta.” Saya agak kaget karena jika telepon tengah malam itu biasanya mengabarkan berita yang kurang enak. Saya pun menerima telepon itu. Suara bapak saya.

“Ada apa, Pak?”

“Ini, ibumu terbangun di tengah malam dan ingat kamu,”

“Terus?”

“Dia nangis dan mau tau kabar kamu,”



Begitulah ibu saya. Selalu kepikiran sama anaknya. Bahkan sampai tengah malam di jarak 350 kilometer.

Beberapa ribu jam setelahnya saat saya pulang ke rumah pada masa libur kuliah, beberapa orang menceritakan kepada saya bahwa ibu saya tidak makan karena selalu mengingat saya! Bagi saya itu mungkin terlihat mengharukan sekaligus lebai apalagi saya bukan tipikal drama king.

Dan setelah kepergian ibu saya maka wajarlah bagi saya begitu kehilangan beliau. Setiap hari saya merinduinya, menangis untuknya dan terdiam untuknya. Rasa sakit itu begitu susah dilupakan hingga kini. Melihat fotonya saja atau berziarah ke kuburnya langsung mengungkit luka lama. It hurts me bad! Even I didn’t want to live anymore!

Teringatlah dosa-dosa saya pada ibu saya. Dulu saya sering sekali meninggalkannya di rumah dengan alasan sibuk berdakwah di luar rumah. Sering menyakiti hatinya dengan kata-kata setajam pisau. Pernah tidak mematuhi apa yang menjadi nasehatnya. Pernah membohonginya dan lainnya. Bahkan saya tidak pernah memahami bahasa diamnya yang menandakan dia tidak suka. Tangis kekhawatirannya seringkali saya anggap sebagai suatu hal yang berlebihan. Omelannya yang merupakan rasa kasih sayang sering saya anggap sebagai makian untuk saya. Ahhh… Ibu, andaikan kau ada disini, ingin aku memelukmu lagi dan mendekap tubuhmu erat.


Ibu, maafkanlah aku…

Sungguh engkau merawatku dengan penuh kesabaran dan kasih sayang surga. 
Engkau merawatku dan membesarkanku dengan cinta yang terbuat dari permata yang tiada tandingannya. 
Namun, aku merawatmu tidak dengan sungguh-sungguh.

Ibu, maafkanlah aku…

Adakah jalan yang bisa kulalui agar kutahu bahwa kau redho dengan apa yang kulakukan? 
Adakah kesempatan bagiku untuk meminta maaf kepadamu lagi? 
Adakah kesempatan bagiku untuk melihat senyummu lagi?

Ibu, maafkanlah aku… 

Kau mendoakan aku dengan sepenuh hatimu. 
Kau meminta kepada Allah dengan keredhoan langit dan bumi. 
Kau meminta perlindungan yang paling hakiki agar aku tak salah jalan dan tersesat. 
Namun, aku begitu sombong untuk selalu menolak apa yang menjadi titahmu.

Ibu, maafkanlah aku…

Kau berjalan menembus malam hanya untuk mencari cahaya untukku. 
Kau tertatih menahan perih demi aku anakmu terhindar dari kesusahan. 
Kau tersenyum dengan senyum paling purnama yang menghalau resah dihatiku.

Ibu, maafkanlah aku…

Pada saat aku tak bisa lagi berbicara denganmu, 
pada saat aku tak bisa lagi menatap wajahmu, 
pada saat aku tak bisa lagi membaui khas tubuhmu, 
pada saat aku kehilangan arah, rasa sesal itu pun hinggap dan menghancurkan hari-hariku. 
Rasa penyesalan yang terus menggerogoti diriku akan betapa nista dan bodohnya aku, 
tak sempat meminta maaf hingga akhir hayatmu.

Ibu, maafkanlah aku…

Walaupun ku yakin kau sudah berbahagia di sana, 
namun aku akan selalu rindu…rindu dan rindu. 
Rindu berdetik banyak dan tak akan mungkin terbalaskan. 
Hanya lantunan doa yang menjadi penghubung rindu kita. 
Ku yakin kau sudah aman di sisi Allah.

Ibu, maafkanlah aku…

Kau merawat aku dengan penuh kasih 
dan aku merawatmu untuk menunggu kematianmu.


Oh, can you hear it in my voice?
Oh, can you see in my eyes?
Love for you is alive in me.
Oh, can you feel it in my touch
Know that I always have enough
Your love is alive in me…


Ibu… Ibu… Ibu… I really miss you so bad***(yas)







Bekasi, 23rd of December 2017
@Chicking Giant, 18.46 pm
Ibu aku rindu setengah mati…
Daffi bpk juga rinduuu….



Disinilah Ibu saya berbaring untuk selamanya


Seperti enggan melanjutkan hidup

Kau merawatku sambil menunggu kehidupanku

The last photo when she visited Mekkah