Friday, January 28, 2022

Bait-Bait Ar Rahman (Cerpen)

 


"Arrahman... Allamal Qur'an... Kholaqol insan... Allamahul bayan... Asysyamsu wal qomaro bi husban..."


Bait-bait surat cinta itu terdengar di ruang pendengaranku. Memaksa pelupuk mataku yang terlelap, membuka sedikit demi sedikit.


"Wan najmu was syajaru yas judan..."


Bait-bait itu terdengar lagi lebih lantang dari sebelumnya. Udara yang menusuk di puncak Gunung Merbabu tak membuatku surut untuk mencari sumber suara itu. Aku keluar dari sleeping bag ku dan mencoba merangsek keluar tenda.


"Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan"


Suara itu bergetar menahan tangis yang menggeledak. Ayat-ayat itu lemah dibacakan. Gemuruh dada menahan tangis dari yang membaca serasa melekat di hatiku.


"Maka Nikmat Tuhan Kamu manalagi yang kamu dustakan?

 Maka Nikmat Tuhan Kamu manalagi yang kamu dustakan?

 Maka Nikmat Tuhan kamu manalagi yang kamu dustakan?"


Aku berdiri di depan tenda. Tubuhku bergetar menahan haru dan takjub. Di depanku tampak punggung Billy yang sedang tegak berdiri di atas sajadah sambil mensedekapkan tangannya dan menahan tangis sambil terus membaca surat Ar-Rahman.


"Masya Allah...." Aku jatuh berlutut. Aku menahan tangis dan mengulang-ulang kata yang sama di dalam hati.


"Maka Nikmat Tuhan Kamu manalagi yang kamu dustakan?

 Maka Nikmat Tuhan Kamu manalagi yang kamu dustakan?"


***


"Kau ikut bergabung naik gurung bareng kan, Ren?" 


Seorang lelaki tinggi memakai topi kupluk tiba-tiba duduk di hadapanku. Dia Billy, teman satu fakultas di Fakultas Ilmu Budaya UGM. 


"Aku belum merencanakan Bil. Masih banyak urusan yang belum Aku selesaikan. Tapi rasa kangenku melihat keindahan alam serta gunung yang mentereng itu, benar-benar tidak bisa ditahan." Aku mengenang tanpa melihat Billy yang tiba-tiba sudah meminum es teh manisku.


"Ah, pasti karena urusanmu yang setumpuk di Lembaga Dakwah Fakultas, kan, Ra? Sudahlah, ngapain sih, kau merepotkan dirimu di kegiatan-kegiatan seperti itu?" protes Billy sambil mengambil satu kerupuk di piring ketoprakku.


Pertemuanku dengan Billy kala itu terjadi saat Aku dan dia menjadi mahasiswa baru. Diterima di fakultas yang sama dan jurusan yang sama. Hobi kami yang sama-sama mendaki gunung, selanjutnya menakdirkan kami bergabung dengan klub pecinta alam. Tapi menjelang kenaikan semester tiga, Allah memberiku hidayah lewat Bang Adil, mentorku di kegiatan Asistensi Agama Islam, suatu kegiatan mentoring yang wajib diikuti anak-anak baru semacam Aku dan Billy. Hidayah itu yang akhirnya menjadi hal yang selalu ditanyakan Billy.


"Kenapa Ra? Kenapa? Apakah dengan kau bergabung dengan lembaga dakwah itu, lalu kau begitu saja meninggalkan Aku dan teman-temanmu di pecinta alam? Aku sudah menganggapmu sebagai sahabat sekaligus sahabat terbaikku." protes Billy pada saat aku memutuskan untuk pindah kost.


Aku hanya diam saja tidak bisa berkata apa-apa.


"Asal kau tahu Ra, Aku sudah tidak percaya lagi Tuhan semenjak Dia tidak bisa menyelamatkan mamaku dari penyakitnya!" 


Segala sesuatunya pasti ada alasan. Aku hanya ingin mengamankan imanku yang saat itu masih belum baik. Aku takut bila masih bersama Billy dan kawan-kawanku di pecinta alam, maka sedikit demi sedikit hidayah itu akan semakin tergerus. Di lain pihak Billy justru masih membutuhkanku untuk mengingatkannya. Berada di lingkungan yang baru, di sebuah daerah yang baru, pada awalnya mengakrabkan kami berdua.


"Kamu harus kembali menemani Billy, Dek," usai mentoring siang itu, Bang Adil menemuiku.


"Tapi Bang, Aku takut hidayahku tergerus," Aku membela diri.


Bang Adil tersenyum. "Dek, kamu masih punya banyak teman disini yang Insya Allah akan selalu mengingatkan bila jalanmu tak lagi lurus. Ada Handoyo, Radit, Dito dan yang lainnya. Tapi Billy? Adakah teman yang akan mengingatkan jika dia terjatuh? Atau paling tidak sekedar tempat bertanya saja," Bang Adil menatapku lekat.


Ah, rasa malas menerpaku. Berdiskusi dengan Billy bagaikan berdiskusi dengan batu karang. Baginya semua pendapat adalah salah dan dialah yang mempunyai pendapat paling benar.


"Tidakkah kau tahu dek? Batu tidak akan bisa mengalahkan batu, tapi air yang terlihat begitu lembut sanggup membuat lubang di atas batu yang terlihat keras itu. Inti dari semuanya adalah bersabar, dek." Bang Adil mengingatkan lagi.


Akhirnya dengan terpaksa, aku memutuskan untuk kembali kos bersama Billy. Satu kamar yang terlihat kontras!. Di sisi kamarku terpampang tulisan-tulisan kaligrafi arab dan kata-kata penyemangat dari ulama-ulama Islam. Sedangkan di sisi Billy, terpampang poster-poster metal-nya. Untuk urusan musik pun selera kami sudah berbeda. Aku sekarang lebih senang mendengarkan murottal Al-Qur'an atau nasyid-nasyid yang menyejukkan jiwa. Billy masih tetap dengan lagu-lagu barat urakannya. Tapi Billy selalu menghormatiku. Ketika aku sedang mendengarkan murottal atau nasyid dia selalu mendengarkan atau keluar kamar. Pada saat dia menyetel lagu urakannya itu, aku biasanya sedang tidak berada di kamar.


Aku tidak akan pernah tahu kapan hidayah itu akan hadir. Aku hanya mencoba dan mencoba, tapi tak ada perubahan sedikitpun pada Billy. Bang Adil sendiri selalu bilang, "Ishbir, dek. Kita hanya berusaha, sedangkan untuk urusan hasil bukan kita yang menentukan."


Persaudaraanku dengan Billy dijuluki oleh teman-teman bagaikan persaudaraan hitam dan putih.


***


"Arrahman...allamal quran...kholaqol insan..."


Suara murottal As-Sudais mengalun pelan dari laptopku. Usai Sholat Isya, aku tengah berkutat dengan tugas Writing III yang harus dikumpulkan lusa. 


Billy sedang beristirahat di tempat tidurnya sambil memainkan ponselnya. Malam ini, tidak seperti biasanya, dia sudah berada di kamar. Biasanya dia baru berada di kamar menjelang tengah malam.


"Itu suara apa, Ren?" tanya Billy memecah keheningan, "Suara yang berasal dari laptop-mu," Billy memperjelas.


Aku menghentikan ketikanku. "Oh, ini suara murottal," jawabku singkat.


"Murottal??" Billy keheranan.


" Iya, murottal alias lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an." terangku.


" Oh, Al-Qur'an. Terakhir gue baca Qur'an waktu masih SD. Oh, poor me..." Billy seolah-olah meratapi dirinya.


Aku hanya melanjutkan ketikanku. Apa sih Billy, gak jelas banget!


"Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban...." 


Aku menikmati alunan murottal itu. Mendengarkan murottal sambil mengerjakan tugas menambah semangat dalam bekerja.


"Ren, kenapa ayatnya diulang-ulang?" Billy yang kusangka sudah tidur bertanya lagi.


Aku menghentikan ketikanku lagi. Kuambil mushab yang ada di atas mejaku, lalu beranjak ke tempat tidur Billy.


"Billiandri Giumart, ini mushab buat kamu. Sekarang silahkan dibuka surat ke 55 dan silahkan baca sendiri artinya disitu ya!" Aku menyerahkan Al-Qur'an itu. Aku merasa mulai sedikit terganggu dengan kehadirannya.


Billy menerima sekedarnya. Lalu dia meletakkan mushab itu di atas mejanya. Tak lama ponselnya berdering. Dia menerima panggilan masuk itu.


Aku kembali berkutat dengan tugasku yang nyaris selesai. Tinggal membuat daftar pustaka dan cover setelah itu selesai.


"Ren, gue pergi dulu ya!" Billy beranjak dari kamar. Dia mengenakan jaket serta topi kupluknya yang berada di belakang pintu. Detik berikutnya Billy sudah menghilang di balik pintu.


Untuk sementara Aku merasa damai dan bisa melanjutkan tugasku tanpa gangguan.


***


"Tiidak perlu mengingatkanku tentang agama ataupun Tuhan. Dia bahkan tidak bisa menyelamatkan mama!"


Langkahku terhenti di depan pintu kamar saat mendengar suara Billy. Sedikit celah pintu yang terbuka membuatku dapat melihatnya yang tampak sedang berbicara di ponsel.


"Sudahlah, Pa, Aku sudah tidak butuh Tuhan! Aku bisa hidup sendiri! Tak perlu menasehati dan mengingatkanku tentang Tuhan! Aku tak butuh Tuhan! " Billy terlihat marah dan menutup pembicaraannya.


Tiba-tiba Billy berbalik dan menangkap mataku di balik pintu. Aku bergegas masuk dan menutup pintu kamar. Aku mencoba bersikap biasa saja, lalu segera duduk di karpet samping tempat tidurku.


"Tadi Papa ku. Dia menasehatiku dan mengingatkan untuk sholat. Untuk apa sholat, jika apa yang aku sembah tidak pernah bisa menyelamatkan orang yang aku sayangi," Billy membuka percakapan.  


Aku menatapnya sambil memeluk lutut. Aku merasa berat untuk berbicara tentang Tuhan dengannya. Aku hanya ingat pesan Bang Adil, jangan kau lawan batu dengan batu.


"Aku kecewa pada Tuhan, Ren! Kenapa harus mamaku? Kenapa Dia tidak mendengarkan doaku? Aku selalu berdoa pada-Nya tiap hari. Kenapa Dia tidak mengabulkan doaku untuk menyembuhkan mamaku?" Billy bertanya-tanya sendiri. Tersesat pada tanya yang tidak pernah berhenti.


Aku tak berani berargumen dengannya. Aku hanya merasa dia perlu waktu untuk berbicara dan melepaskan bebannya. Jadi Aku mendiamkan saja dan mendengar. Ah, Billy andaikan kamu merasakan apa yang telah aku rasakan. Kamu pasti menemukan indahnya bersama dengan Allah.


"Kau masih memegang Mushab yang kuberikan kepadamu kemarin?" tanyaku pada akhirnya.


Billy yang sedang berbaring di atas kasurnya tidak menjawab. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sepertinya dia sedang sekuat tenaga menahan tangisnya.


"Bila kau mau, bacalah surat Ar-Rahman. Insya Allah kau akan menemukan ketenangan sesudahnya." Aku memberanikan diri untuk berbicara. Namun tak ada respon dari Billy.


Aku beranjak dari karpet. Bergegas untuk menuju kamar mandi, berwudhu. Kemudian teringat bahwa tilawahku hari ini belum genap satu juz. Ya Allah, semoga ada kebaikan pada diri sahabatku ini.


***


Billy kecil menahan air matanya. Sang mama yang sedari tadi berada di hadapannya sudah menutup mata sempurna. Pikiran kecilnya bertanya-tanya, kemana doa-doanya sedari tadi bermuara? Kenapa tak ada satupun doanya yang menjelma menjadi nyata? Kenapa pintanya agar sang mama tetap hidup menjadi hal yang tidak nyata? Kemana Tuhan yang selalu dia panjatkan doa dan pintanya?


Billy kecil mematung di depan jenazah mamanya. Dia hanya melihat seulas senyum di wajah beku mamanya. Orang-orang berkata bahwa mamanya telah tiada, dipanggil Tuhan. Tapi kenapa Tuhan malah memanggil mamanya disaat doa yang dipanjatkannyaagar jangan mengambil mamanya? Kenapa Tuhan? Billy tidak lagi nakal. Billy tidak lagi malas. Billy tidak lagi mengganggu orang lain. Billy selalu rajin sholat dan mengaji.


Sejak saat itulah Billy menjadi malas beribadah dan mempertanyakan keberadaan Tuhan. Tuhan tidak pernah mendengar pintanya, tidak pernah ada untuknya, tidak ada....tidak ada....tidak ada....!


"Tidaaaaakkkkkkkk!!!!"


Billy berteriak keras. Dia terbangun dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah dan buliran peluh keluar dari pori-pori tubuhnya.


Aku yang sedang menunaikan sholat tahajud segera beranjak ke tempat tidurnya.


"Ada apa, Bil? Kau bermimpi sepertinya. Istighfar!" ujarku membimbingnya.


Nafas Billy terengah-engah. Entah dia mengikuti saranku atau tidak untuk beristighfar. Aku mencoba memegang keningnya yang penuh dengan peluh. Panas. Dia sepertinya bermimpi. Aku segera membimbingnya untuk tidur kembali.


"Bila kau bermimpi buruk, hadapkan wajahmu ke arah kiri dan buanglah ludah ke arah itu. Sesungguhnya mimpi buruk itu berasal dari setan." Aku membantu menenangkan dirinya.


Tak lama Billy tertidur lagi. Aku melanjutkan sholat malamku yang terpotong tadi.


***


Aku tertatih menahan perih. Kupegangi lututku yang tadi terperosok di semak belukar. Ada beberapa goresan yang dihasilkan. Suasana yang gelap membuat aku sedikit sulit untuk menapaki jalan setapak itu. Hingga akhirnya aku terperosok cukup dalam sebelum Billy menangkap tanganku dan menyelamatkan aku.


"Kau terluka cukup dalam Ra. Kakimu perlu kami balut dengan perban dulu sementara ini," Fajri, seorang tim P3K pendakian kali itu memberitahukan. 


Aku tak masalah. Kupersilahkan Fajri untuk menangani lukaku sebisanya.


Atas usul Bang Adil, akhirnya aku memutuskan untuk ikut pendakian dan menerima ajakan Billy. Namun, setelah sekian lama tidak mendaki gunung ternyata sangat susah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.


Fajri selesai membalut lutut kiriku dengan perban. Di jalan itu tinggal Aku, Fajri, Billy dan Eza, tim P3K lainnya. Sisanya sudah meneruskan perjalanan. 


Aku berusaha untuk berdiri, tetapi luka dan rasa sakit itu masih menganga tajam. Fajri dan Eza membantuku perlahan. Aku masih terasa sakit untuk melangkah dan berjalan.


" Sini, biar kugendong saja kamu, Ren." Billy maju kedepan wajahku. Dia melepas tas backpacknya dan memberikan pada Eza.


Aku menatapnya terdiam. Sisa perjalanan tinggal 3 kilo meter lagi untuk mencapai puncak. Apakah aku harus membiarkan diriku tinggal disini saja?


Fajri membantuku. Dia mengangkat tas ranselku dan membawanya. Aku lalu naik ke punggung Billy. Tanpa banyak berkata lagi kemudian kami berjalan.


Kakiku masih terasa sakit. Aku merasa tidak enak menyusahkan Billy dan kawan-kawan yang lain. Namun Billy tetap pada langkahnya semula yang semangat dan lebar-lebar.


"Bacakan Aku surat Ar-Rahman sebagai pengusir lelahku, Ren." Billy berkata pelan pada kilometer kedua. Fajri dan Eza sudah jauh di depan.


Aku terkejut. Aku tak tahu bagaimana wajah Billy saat itu. Ingin aku mengucapkan takbir dan bersujud syukur. Namun tanpa banyak kata aku membaca ayat-ayat Allah itu.


"Arrahman...allamal quran....kholaqol insan...."


Satu yang tidak kuketahui, air mata Billy menderai jatuh berurai.


***


"Fabiayyi ala Irobbikuma Tukadziban... tabaarokasmu robbika dzil jalaali wal ikrom..."


Billy membaca ayat itu dengan terbata-bata. Aku duduk terpaku di depan tenda dengan mengenang air mata. Tak lama Billy rukuk dan tenggelam dalam sujudnya yang menderai-derai.


Aku menatapi moment itu detik demi detik. Setelah salam Billy berbalik badan dan mendapatiku sedang duduk di depan tenda.


" Bi... Bil... ka... ka... mu...," suaraku tersendat menahan air yang mengalir lebih deras.


Billy mendekatiku dan dengan malu-malu dia berkata, "Surat ini telah membawaku tersungkur kembali, Ren." ujarnya menunduk dan tersipu.


Aku lekat menatapnya. Ya Allah... Ya rahman... Ya Rahim... gelegak rindu yang kian membuncah itu kini Kau jawab sendiri dengan ayat-ayat Mu. Kemudian aku memeluknya erat sambil menahan sakit di lututku. Teringat aku akan perkataan Bang Adil tempo hari,


"Tidakkah kau tahu dek? Batu tidak akan bisa mengalahkan batu, tapi air yang terlihat begitu lembut sanggup membuat lobang di atas batu yang terlihat keras itu. Inti dari semuanya adalah bersabar dek,".


Masya Allah...Subhanallah...aku tenggelam dalam tasbih dan hamdalahku.


"Ayat-ayat itu membuatku luruh, Ren. Menumbangkan semua sendi-sendi kesombonganku. Membuatku terjatuh pada lubang tak berdasar kemudian ada Allah yang merangkul dan membawaku kembali ke jalan-Nya." Billy menjelaskan masih di hadapanku.


Ya Allah... Kata apa lagi yang pantas kuucapkan kepada Mu selain syukur dan tasbih? Kau sendiri yang menyambut hamba-Mu yang kehilangan arah dan bertanya tentang keberadaan Mu. Aku tak tahu skenario apa lagi yang akhirnya membawa Billy pada jalan Mu ini. 


Aku semakin tergugu ketika Billy mengulang-ulang lagi kata-kata itu, 


"Maka Nikmat Tuhan Kamu manalagi yang kamu dustakan?

 Maka Nikmat Tuhan Kamu manalagi yang kamu dustakan?

 Maka Nikmat Tuhan kamu manalagi yang kamu dustakan?"


Ya Allah, Engkaulah Rabbi sedangkan aku hanyalah hamba. Terpaku aku kembali pada untaian dan bait-bait indah ayat-ayat cinta Mu. Bait-bait Arrahman.


Malam semakin pekat. Suara-suara hewan malam bersahut-sahutan. Gemericik air sungai terdengar riuh. Malam itu menjadi saksi betapa indahnya bait-bait Arrahman. Fabiaayi ala Irobbikuma Tukadziban. Maka nikmat Tuhan kamu manalagi yang kamu dustakan?***(yas)





My room, 3rd May 2012

23.53 pm