Saturday, December 23, 2017

Ibu, maafkanlah aku... (A belated Mother's day greetings)

Here laid down my beloved mom


“Kamu merawat Ibumu sambil menunggu kematiannya. Sementara Ibumu merawatmu sembari mengharapkan kehidupanmu”.
— Umar bin Khattab Ra


“Yas, could you build me a home?”


Minggu itu adalah minggu terakhir kalinya Saya bertemu dengan dia. Seorang wanita yang berbaring lemah di atas tempat tidurnya dengan tubuh yang semakin tirus.

Saya tidak menyadari bahwa itu adalah tanda terakhir yang diberikan olehnya sebelum akhirnya dia pergi selama-lamanya. Saya sempat “memaksa” nya untuk makan sesuap nasi beserta sup dan pudding kesukaannya. Walaupun pada akhirnya semua makanan itu tumpah kembali lewat mulutnya berupa cairan hijau seperti “klorofil”. Entah kenapa, Saya yang biasanya sangat jijik dengan muntah, langsung menenangkan ibu yang panik karena lantai menjadi kotor dan seprai di kasur berubah warna.

“It’s ok, mom. I’ll take over this.” ujar saya dan dengan segera membersihkan lantai dan mengganti seprai.

Andaikan Saya tahu ini adalah minggu terakhirku melihat wajahnya lagi, mungkin saya akan terus berada di rumah saja menemani hari-hari terakhirnya. Namun yang terjadi Saya malah kembali ke kost-an di Bekasi dan sibuk dengan segala hal.

Kemudian, Saya merasa enggan untuk pulang ke rumah minggu itu. Semua kakak-kakak saya sedang berkumpul di rumah untuk menghibur ibu. Saya ingin menyelesaikan beberapa urusan yang menunggu deadline nya, padahal itu adalah long weekend, Senin libur bertepatan dengan hari raya nyepi.

Tak lama, sebuah message masuk lewat ponsel saya, “Yas, mom sudah gak ada.” Pesan yang singkat dan padat dari kakak saya.

Pardon me? What actually did you mean?

Detik berikutnya ponsel saya kembali dibombardir dengan pesan-pesan serupa yang membuat Saya lemah tak berdaya. Saya menelepon balik kakak saya,

What did you mean? Are you serious? Don’t fool me!” Saya meradang keras. 

Namun kakak saya hanya mengatakan, “You can see her by your eyes!”. 

Saya menangis mearung-raung sendirian di dalam kamar kost. Minggu itu jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kakak-kakak saya yang lain menyarankan “Don’t ride a motorbike in this situation. You won’t be focus,” Tapi Saya tak memedulikannya. Saya menangis sepanjang perjalanan. 

“Mom… why? Why you leave me? Why? Why?”

Saat Saya berada di Rumah sakit tempat beliau dibawa tadi, Saya melihat kakak saya sedang duduk di samping tubuh ibu yang sudah terbujur kaku dengan wajah yang sudah ditutupi kain. Saya menangis sejadi-jadinya. 

“Mom….why? Why? I can’t bear this,” 

Yang ada pada saat itu adalah rasa penyesalan yang amat sangat kepada ibu saya. Kenapa saya tidak pulang dengan cepat? Kenapa saya masih sibuk bekerja? Kenapa saya… Kenapa saya?? Dan segudang penyesalan yang menggunung tinggi. Bahkan saat jenazah ibu dibawa pulang ke rumah pun, saya hanya jatuh tersungkur di kamar dan tak berhenti menangis. Beberapa kawan-kawan dan sahabat saya berusaha menghibur, namun I really feel nothing. I'm lose a single piece of puzzle in my heart. It tears me down, it breaks me so hard. Sampai ketika ibu saya dimasukkan ke dalam liang kuburnya pun saya seperti tak rela. Mengingat wajah tuanya saja sudah membuat saya susah untuk bernafas dan lagi-lagi….feel nothing!

Sehari setelah kepergiannya, gairah hidup saya menurun drastis. Saya berhenti makan untuk beberapa hari. Bahkan sesudahnya, usai makan saya selalu memuntahkan semua isi perut saya. Air mata selalu mengalir dalam kondisi apapun. Walaupun berusaha untuk tegar, kemudian saya akan berlari ke kamar mandi untuk menangis. Semangat hidup saya pun meredup. Mengingatnya kembali memberikan dampak yang sangat tidak baik bagi hidup saya. It really hard to move on! Sakitnya lebih sakit dari apapun, terlebih jika kau sangat akrab dengan ibumu. 

Selama 3 bulan dan kemudian 1 tahun perlahan-lahan saya mulai bangkit menata hati saya yang pecah. Walaupun sekarang mungkin sudah utuh kembali, tetapi bekasnya itu masih kentara. Layaknya sebuah gelas yang pecah dan kau menambal pecahannya agar utuh kembali, namun gelas itu masih ada bekasnya bukan?

Hanya Allah lah yang akhirnya menguatkan kaki ini untuk berdiri tegak kembali dan menatap sinar pada ujung sebuah kegelapan.

***

Saya dan ibu bisa dikatakan sangat akrab. Saking akrabnya, seorang sahabat pernah berkata, 

“Yas, ada gak ya hubungan anak dan ibu yang segila kamu?” 

Ya, saya sangat akrab. Bila ibu saya sedang makan dan saya melihat makanan yang dimakannya enak, pasti saya langsung minta disuapin dari piring ibu saya. Kadang saya tidur bersama ibu saya sambil menganggap tubuhnya sebagai guling. Kalau saya sedang gemes, pasti pipi ibu saya yang mulai keriput itu menjadi sasaran saya. Sering juga bergelayut manja di bahunya atau sekedar mencandainya. Jika ibu saya sedang marah, maka saya selalu meniru gesture-nya sehingga membuat ibu saya makin tambah marah. Tak lama kemudian tertawa. Kalau sedang gajian, sering membelikannya makanan yang enak-enak, yang ujung-ujung tak pernah dimakannya melainkan diserbu oleh keponakan-keponakan saya. Jika melihat baju daster pasti maunya beli untuk ibu saya. Maka dari itu teman saya merasa hubungan saya dan ibu saya “gila” karena bisa bercanda layaknya teman.

Suatu malam saat saya masih kuliah di Yogjakarta, telepon di rumah kost saya berdering. Waktu itu pukul satu malam dan saya masih asyik berkutat dengan tugas kuliah. Bapak kost yang mengangkat waktu itu dan suaranya terdengar sampai kamar saya yang kebetulan berada tak jauh dari tempat telepon itu berada. Tak lama Bapak kost itu memanggil saya, “Yas, telepon dari Jakarta.” Saya agak kaget karena jika telepon tengah malam itu biasanya mengabarkan berita yang kurang enak. Saya pun menerima telepon itu. Suara bapak saya.

“Ada apa, Pak?”

“Ini, ibumu terbangun di tengah malam dan ingat kamu,”

“Terus?”

“Dia nangis dan mau tau kabar kamu,”



Begitulah ibu saya. Selalu kepikiran sama anaknya. Bahkan sampai tengah malam di jarak 350 kilometer.

Beberapa ribu jam setelahnya saat saya pulang ke rumah pada masa libur kuliah, beberapa orang menceritakan kepada saya bahwa ibu saya tidak makan karena selalu mengingat saya! Bagi saya itu mungkin terlihat mengharukan sekaligus lebai apalagi saya bukan tipikal drama king.

Dan setelah kepergian ibu saya maka wajarlah bagi saya begitu kehilangan beliau. Setiap hari saya merinduinya, menangis untuknya dan terdiam untuknya. Rasa sakit itu begitu susah dilupakan hingga kini. Melihat fotonya saja atau berziarah ke kuburnya langsung mengungkit luka lama. It hurts me bad! Even I didn’t want to live anymore!

Teringatlah dosa-dosa saya pada ibu saya. Dulu saya sering sekali meninggalkannya di rumah dengan alasan sibuk berdakwah di luar rumah. Sering menyakiti hatinya dengan kata-kata setajam pisau. Pernah tidak mematuhi apa yang menjadi nasehatnya. Pernah membohonginya dan lainnya. Bahkan saya tidak pernah memahami bahasa diamnya yang menandakan dia tidak suka. Tangis kekhawatirannya seringkali saya anggap sebagai suatu hal yang berlebihan. Omelannya yang merupakan rasa kasih sayang sering saya anggap sebagai makian untuk saya. Ahhh… Ibu, andaikan kau ada disini, ingin aku memelukmu lagi dan mendekap tubuhmu erat.


Ibu, maafkanlah aku…

Sungguh engkau merawatku dengan penuh kesabaran dan kasih sayang surga. 
Engkau merawatku dan membesarkanku dengan cinta yang terbuat dari permata yang tiada tandingannya. 
Namun, aku merawatmu tidak dengan sungguh-sungguh.

Ibu, maafkanlah aku…

Adakah jalan yang bisa kulalui agar kutahu bahwa kau redho dengan apa yang kulakukan? 
Adakah kesempatan bagiku untuk meminta maaf kepadamu lagi? 
Adakah kesempatan bagiku untuk melihat senyummu lagi?

Ibu, maafkanlah aku… 

Kau mendoakan aku dengan sepenuh hatimu. 
Kau meminta kepada Allah dengan keredhoan langit dan bumi. 
Kau meminta perlindungan yang paling hakiki agar aku tak salah jalan dan tersesat. 
Namun, aku begitu sombong untuk selalu menolak apa yang menjadi titahmu.

Ibu, maafkanlah aku…

Kau berjalan menembus malam hanya untuk mencari cahaya untukku. 
Kau tertatih menahan perih demi aku anakmu terhindar dari kesusahan. 
Kau tersenyum dengan senyum paling purnama yang menghalau resah dihatiku.

Ibu, maafkanlah aku…

Pada saat aku tak bisa lagi berbicara denganmu, 
pada saat aku tak bisa lagi menatap wajahmu, 
pada saat aku tak bisa lagi membaui khas tubuhmu, 
pada saat aku kehilangan arah, rasa sesal itu pun hinggap dan menghancurkan hari-hariku. 
Rasa penyesalan yang terus menggerogoti diriku akan betapa nista dan bodohnya aku, 
tak sempat meminta maaf hingga akhir hayatmu.

Ibu, maafkanlah aku…

Walaupun ku yakin kau sudah berbahagia di sana, 
namun aku akan selalu rindu…rindu dan rindu. 
Rindu berdetik banyak dan tak akan mungkin terbalaskan. 
Hanya lantunan doa yang menjadi penghubung rindu kita. 
Ku yakin kau sudah aman di sisi Allah.

Ibu, maafkanlah aku…

Kau merawat aku dengan penuh kasih 
dan aku merawatmu untuk menunggu kematianmu.


Oh, can you hear it in my voice?
Oh, can you see in my eyes?
Love for you is alive in me.
Oh, can you feel it in my touch
Know that I always have enough
Your love is alive in me…


Ibu… Ibu… Ibu… I really miss you so bad***(yas)







Bekasi, 23rd of December 2017
@Chicking Giant, 18.46 pm
Ibu aku rindu setengah mati…
Daffi bpk juga rinduuu….



Disinilah Ibu saya berbaring untuk selamanya


Seperti enggan melanjutkan hidup

Kau merawatku sambil menunggu kehidupanku

The last photo when she visited Mekkah




No comments: