Saturday, November 18, 2017

Jatuh Cinta Pada Puisi (Duka Sedalam Cinta Seorang Wanita yang Menari dengan Puisi)

My Best friend is myself, I don't need nobody else to be there for me, care for meand for my best time is to be all alone and sit thinking I'm in love with me
-Meja-

Dua buku yang membuat saya menari dan bersedih

Buku puisi? Kalau pertanyaan ini ditujukan waktu zaman putih abu-abu mungkin saya akan menggelengkan kepala dan bilang, "Thanks!". Bagi saya baca buku puisi yang penuh filosofi tersembunyi dan pesan-pesan intristik itu bikin mumet. Baca buku itu kan buat penyegaran ya, bukan malah bikin pusing. Jadilah zaman-zaman itu saya anti banget baca buku puisi. Baca puisi oke, tapi kalo baca buku puisi, gak deh.

Baru kemudian saat saya masuk jurusan Sastra Indonesia di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, saya mulai menyukai puisi. Puisi yang saya sukai juga puisi yang simpel dan gak ribet. Waktu itu saya jatuh cinta dengan puisi-puisinya Sapardi Djoko Damono. Puisi beliau simpel, sarat makna, ngena di hati dan daleeemmm.... Pemakaian diksi dan majas nya pun tidak berbelit-belit dan njelimet. Ditambah lagi puisi SDD kebanyakan romantis jadinya semakin asyik deh. Saya pun melahap buku kumpulan puisi beliau yang menjadi salah satu buku puisi favorit saya, "HUJAN BULAN JUNI".

Saya pun memulai memburu puisi-puisi yang saya kategorikan "gak njelimet" ini. Saya mendapatkan buku kumpulan puisi lainnya, namun saya lupa judul dan pengarangnya. Kalau tidak salah judul bukunya SYUHADA tapi saya lupa nama pengarangnya (Poor me). Saat saya pulang ke Jakarta, maka Perpustakaan Daerah Jakarta yang terletak di Kuningan menjadi tempat favorit saya untuk membaca buku kumpulan puisi. Selain membaca buku2 itu, saya juga menyalin beberapa yang menjadi favorit di dalam buku diary dan kadang pada saat teman, sahabat, berulang tahun tak lupa saya menyelipkan kutipan-kutipan puisi itu. Untuk penyair luar yang saya suka adalah Edgar Allan Poe. Kutipan-kutipan puisi beliau selalu setia menempel di binder favorit saya.

Saya pun belajar membuat puisi. Ya, masih abal-abal sih. Kadang membuat puisi ini bisa sangat produktif saat sedang.................. patah hati! 😆😆  Bisa produktif banget! Atau ketika pas jatuh cinta. Hadeeehh....mikirin si dia itu bisa jadi berlembar-lembar puisi deh...hahaha...

Saya sempat juga membukukan kumpulan puisi alay saya tersebut secara pribadi. Judul puisi utamanya pas lagi hopeless banget sama seseorang...hahaha... dan saya kasih ke gebetan saya...😅😅 maksud hati biar dia peka tapi nyatanya dia malah gak peka-peka...hahaha... nasib banget ya!

Sayangnya kumpulan puisi tersebut bersatu dengan PC saya yang hardisknya rusak. Saya sepertinya juga menyimpannya di dalam sebuah disket (OMG, jadulnya!) namun you know kan, zaman sekarang mana bisa disket itu diselamatkan. Hardisk saya yang rusak pun juga tak bisa diselamatkan bersama dengan sebuah naskah novel kurang lebih 250 halaman 😭😭  Beberapa memang ada yang masih tertera di dalam buku-buku catatan saya. Namun ya itu tadi, masih puisi ala-ala yang alaynya minta ampun. Sempat saya publikasikan via blog dan catatan facebook saya, tapi ya sepi komen dan respon..hahaha...

Sejak itulah hidup saya penuh dengan puisi-puisi yang sederhana namun menyentil dan menyentuh. Jangan lupa faktor melow dan memotivasi juga penting jika saya membaca sebuah puisi. Puisi yang berisikan kemolekan tubuh ataupun cinta-cinta yang tanpa didasari kecintaan pada-Nya, bagi saya adalah gak banget! Karena membaca puisi itu berarti meresapi makna, menggelayuti perasaan, menciptakan momen, dan menari dalam imajinasi diri kita sendiri. Bebas, lepas dan tanpa terikat dengan norma-norma. Menciptakan sesuatu imajinasi yang liar di dalam benak kita lalu membiarkannya menghalusinasikan kita. Halah, bahasa Vicky Prasetio banget ya...hehehe...

Kemudian bertemulah saya dengan Bunda Helvy Tiana Rosa saat saya pertama kali membaca Puisinya yang berjudul "Fisabilillah" dalam sebuah buku berjudul PELANGI NURANI. Jleb! Ini puisi simpel tapi kena banget! Lalu semakin intens saat Bunda membacakan puisi untuk Rahmat Abdullah, bikin saya makin takjub sama Bunda. Puisi-puisi beliau pun pada awalnya hanyalah berbentuk "single" karena di mana ada momen pasti sering muncul puisi bunda. Contohnya saat Palestina sedang membara, maka munculah Puisi Mahanazi. Reaksi saya saat membaca puisi itu, langsung bleber air mata. Seolah saya terasa banget sakitnya seperti orang-orang Palestina di sana.

Bunda kemudian menerbitkan kumpulan buku puisi pertamanya (bener gak ya?) yang berjudul : MATA KETIGA CINTA. Buku ber-cover ungu itu berisi puisi-puisi beliau yang dikumpulkan dalam satu buku. Berkali-kali saya membacanya, maka berkali-kali pula saya menemukan "cara" untuk membacanya dengan berbagai gaya.

Buku kumpulan puisi bunda berikutnya yang terbit adalah DUKA SEDALAM CINTA, yang merupakan kumpulan tulisan bunda dari zaman masih muda hingga sekarang. Bisa dipastikan bagi saya sendiri, ini adalah THE MOST AWAITING BOOK OF THE YEAR. Saat buku itu masih berupa pre-order, saya sudah gak sabar ingin membacanya. Pun setelah buku itu ready, saya ingin segera memilikinya. Layaknya seorang kekasih tak sabar menunggu orang yang dicintainya (eeaaa....eaaa...). Buku itu saya pesan sebanyak 3 eksemplar, karena saya ingin memberikan 2 sisanya untuk orang "spesial" (uhuuuyyy).

Jadilah dalam perjalanan pulang seusai mengambil buku DSC di rumah Bunda, saya komat kamit sendiri di dalam kereta. Kurang afdol rasanya jika membaca buku puisi tapi tidak ikut menyenandungkannya. Bolak-balik, bolak-balik, buku itu menjadi teman keseharian saya sampai kemanapun saya pergi buku itu selalu berada di dalam tas saya! Beberapa puisi yang "gw banget" langsung saya tandai. Kemudian saya membacanya dengan berbagai gaya dan intonasi. Membiarkan diri saya "menari" bersama susunan kata-kata yang menjelma seorang sahabat. Kata-kata itu berlarian dengan liar bersama dengan imajinasi saya. Visualisasi saya pun ikut bermain. Setiap puisi yang saya baca akan saya kaitkan dengan suatu peristiwa atau "seseorang" (perlu banget ya, seseorangnya itu saya kasih tanda kutip...hehehe). Beberapa puisi pun akhirnya saya coba rekam.

Judul buku yang saya suka dari buku ini adalah : Jauh, Merayakan Kangen, Selamat Pagi Kamu, Tak Ada Tahun Baru di Suriah, Kamu Puisi, Lelaki Paling Biasa dan Lelaki Puisi. Setiap isi puisi ini seolah mempresentasikan kegalauan dan kegundahan saya serta menyatakan isi hati saya yang paling dalam (duile...).

Puisi "Jauh" seolah mempresentasikan jiwa saya yang gampang gusar ketika berjauhan dengan "seseorang". Jauh juga menggambarkan hati saya yang mudah rindu pada siapapun. Namun pada akhirnya semua kerinduan yang "Jauh" itu hanya terlabuhkan pada doa-doa yang terlafadzkan setiap rakaat.

Puisi kedua "Merayakan Kangen" juga gue bangets! Saya seperti tergila-gila dengan puisi ini. Pada suatu pagi yang jernih di daerah Sentul, saya mengumpet sendirian di tengah kebun rerumputan hanya untuk membaca puisi ini saja. Kangen saya seperti tak terbilang.

Lalu "Selamat Pagi, Kamu" yang bikin memori saya melayang kembali...hahaha... Saat membaca puisi ini, memori saya melayang pada peristiwa tujuh tahunan lalu, saat saya sering bertemu dengan "seseorang" di dalam bis setiap pagi hari.

Kemudian ada "Tak Ada Tahun Baru di Suriah" yang paling susah untuk saya baca. Saya selalu terhenti pada suatu kata dan menahan nafas dalam. Sungguh, saya lebih suka men-skip puisi-puisi tentang dunia Islam yang teraniaya. Membacanya dalam hati saja saya sudah tak kuat, apalagi jika harus dibaca nyaring.

Kelima, puisi "Kamu Puisi" yang seolah ikut berderap-derap di dada saya dengan kalimat repertoirnya. Awalannya garang, tapi di akhirnya meloowww bangetss.

Keenam, puisi "Lelaki Paling Biasa Di Bumi" yang mengingatkan saya akan seorang abang yang....aaahhhh.....mengingatnya aja bikin nangis (semoga Allah menempatkanmu di surga ya, Bang!).

Terakhir, "Lelaki Puisi" yang saya gambarkan sebagai representasi ucapan terima kasih saya terhadap para "lelaki" ini yang telah membantu suka dukanya kehidupan saya.

Pokoknya membaca buku DSC ini bener2 membuat saya menari dengan imajinasi saya deh. Hingga bisa saya katakan bahwa buku ini adalah one of my best friend. Layaknya seorang sahabat yang merupakan diri sendiri, bersama buku ini seperti lupa ada orang lain di sekitar...hehehe...(lebay.com)

Tak lama setelah buku DSC terbit, hadirlah buku "A Lady Dance With Poetry" karya Bunda Helvy juga. OMG! Ini beneran bacanya kayak mau ikutan nari-nari. Serius!

Saat membaca beberapa puisi di dalam buku ini saya langsung menari sendiri. Sebait lagu yang menemani saya membaca puisi ini, membuat saya menari dengan irama saya sendiri. It feels : dance like no one elses. Dunia seolah milik saya dan buku itu aja.

Puisi-puisi yang ada di dalam buku ini sebenarnya juga ada di dalam buku Duka Sedalam Cinta, namun buku ini dwibahasa, alias setiap puisi ada terjemahan Bahasa Inggrisnya. Ada juga beberapa puisi yang tidak ada di dalam buku DSC, salah satunya adalah 'Wanita yang menari dengan Puisi' atau 'A Lady Dance With Poetry'. Judul yang terakhir ini sekaligus yang menjadi favorit saya. Apalagi saat ada aransemen musiknya, waaahhh, makin tambah suka saya!

Pada akhirnya saya benar-benar jatuh cinta pada puisi. Ya, puisi yang bisa membuat saya menari mengikuti bait-bait kata yang tersusun rapi dalam makna yang kadang kita sulit pahami. Kata-kata yang saya ucapkan seolah menjelma menjadi kawan terbaik yang kemudian mengajak saya menari dan membuana ke sebuah tempat jauh di kehidupan nyata saya. Dia membawa saya memasuki dimensi terjauh dalam hidup saya dan membuat saya lupa akan dunia dalam sekejap. Sungguh, kata-kata itu bagaikan mantra ajaib yang menyihir saya untuk berdansa.

Puisi adalah pengejawantahan dari suara hati yang sunyi. Mengeluarkannya pada kata-kata penuh imajinasi yang membuat kita menari tanpa perlu mengerutkan dahi. Lalu setelah kata-kata itu tertuang dalam sebuah kertas ataupun layar komputer, maka seolah diri ini merasa plong dengan keadaan yang terjadi. Aihhh....benaran, jadi pengen jago bikin puisi.

Akhirnya, saya terpaksa harus terus membawa buku DSC dan ALDWP kemana pun saya melangkahkan kaki. Semakin saya membaca buku ini, semakin saya senang menari dalam balutan kata-kata ajaib. Dipadu dengan musik soundtrack kehidupan saya, maka semakin mantaplah tarian yang saya lakukan. Membaca buku ini, membuat saya jatuh cinta kembali pada puisi. Menatapinya dalam-dalam kata-kata yang berbaris itu, lalu bergumam sendiri dalam diam mengulangi kata-kata itu. Kalau sudah begini, kedua buku itu bagaikan diri saya sendiri, bagikana sahabat terbaik saya sendiri. Rasanya tak perlu lagi ada orang lain, kan dunia sudah milik sendiri... hehehe...

Aku jatuh cinta
Aku jatuh cinta pada puisi
yang ditulis sepenuh hati
lewat tangan seorang malaikat
yang membuat kata-kata itu menjelma mantra ajaib
hingga aku menari sendiri
dan menemukan teman terbaik dalam puisi

Tuh, kan. Seperti yang saya bilang di awal tadi, kalau sedang jatuh cinta pasti deh saya produktif bikin puisi...hehehe... Selamat menikmati puisi dan selamat membaca buku 'ajaib' itu. Lalu biarkan dirimu menari dengan kata-kata ajaib itu. Ahhh... Saya jatuh cinta pada PUISI!***(yas)




Jakarta, 18th of November 2017
@my room, 22.24 pm
Jadi pengen nulis puisi lagi.
Apa kabar Pak Rahmat Djoko Pradopo ya?
     





No comments: