Sunday, October 8, 2017

The Choice (Traveling sendiri apa bareng2)

Lokasi : Hua Hin, Thailand



Seorang ibu dengan dua anaknya yang berusia balita turun dari angkot. Satu anak dalam gendongannya, satu anaknya lagi mengikuti di belakangnya. Beberapa kantong plastik belanjaan yang semula tergeletak di lantai angkot, dibantu turun oleh para penumpang. Ibu itu seperti baru saja berbelanja kebutuhan balitanya di sebuah supermarket daerah sukasari. Sedangkan ibu itu sendiri turun di daerah Ciawi dan menyambung angkot ke arah Pasir muncang.

Sekilas, keliatannya pengen banget komen : “ Ya ampun bu, rempong bener!”. Alih-alih komen negatif malah saya salut sama ibu itu. Demi mengajak anaknya jalan-jalan, dia tidak keberatan untuk berempong-rempong ria dengan jarak yang jauh bingits. Hat off untuk si Ibu deh.

Saya juga punya seorang kakak, yang berbeda dari ibu ini. Dia gak pernah tuh keluar jauh dari rumahnya. Paling jauh ya pasar. Kalau disuruh ke rumah kakak saya yang lain, yang memerlukan naik angkot dua kali, dia langsung nyerah. Jangankan angkot dua kali, menuju sekolah anaknya yang cuma ngangkok sekali dan itupun juga cuma sebentar, dia gak mau. Jawabannya kalau ditanya kenapa : “ Gak berani. Ngeri,”

Sebagai seorang backapacker saya juga kerap ditanya macam-macam sama teman saya. Pertanyaan paling sering, “Yas, emang enak apa jalan sendirian? Nggak iseng apa?”

Jalan sendirian, pasti iseng lah ya! Frustasi, sering bangets! Linglung, nyaris ada di setiap perjalanan. Waktu traveling pertama saya ke Singapur, saya sampai Singapur jam setengah sepuluh malam. Setelah keluar dari imigrasi dan mengikuti petunjuk Mbak Dee, sampailah saya di daerah Lavender. Waktu itu saya mencari Hostel Backpacker yang letaknya di Lavender. Secara ini traveling pertama saya ke luar negeri, menjelang tengah malam pula. Saat itu bolak balik saya telusuri peta perjalanan mencari itu hostel gak ketemu-ketemu. Setelah merasa “give up” saya alhirnya bertanya pada orang yang kebetulan lewat. Eng ing eng, si mbak nya menjawab pakai bahasa Cina! Padahal saya tanyanya pakai bahasa Inggris. Ya ampyuuunn… Tanya sama yang lain lagi sama juga. Sekalinya pakai bahasa Inggris, dia ngomong kagak jelas. Ya udahlah, cari-cari sendiri hingga menjelang tengah malam. Coba banyangin gimana gak frustasinya saya.

Saya memang tipikal orang yang suka kemana-mana sendiri. Jalan kaki, lebih seringnya. Kalau itu jarak bisa diperkirakan dengan jalan kaki maka saya memilih untuk jalan kaki. Rekor jalan kaki saya terjauh itu ya, Bogor – Jakarta, tapi itu bukan karena kemauan sendiri tapi karena dipaksa ikut lomba…hahahah…

Sampai suatu saat seorang teman bilang, kalau dirinya tidak bisa kalau jalan sendirian. Saya juga punya teman yang jarak sedikit aja naik motor, ke rumah teman yang gak begitu jauh aja minta dijemput. Ke masjid, yang cuma 50 meter naik motor, pokoknya malas jalan deh ini orang. Mangkanya dia terheran-heran kalau saya sampai ke suatu tempat jalan kaki, “Kok lo bisa sih?”.

Nonton ke bioskop sendirian aja sampai dia komenin juga, “apa enaknya nonton sendirian?” Aksi kemanusiaan sendirian juga kena komen. Ujung-ujungnya dia membully, “jomblo sih lo ya?” Hadehhh…capekk deh…

Pada dasarnya hidup itu adalah pilihan. Memilih mengurung diri sendiri di tempat itu-itu aja dan mempertahankan zona nyaman atau melangkah keluar dan mendobrak zona nyaman. Saya pun sempat merasa asyik dengan zona nyaman saya. Lalu ketika melangkah keluar, Ya Ampyuunn, babak belur. Tapi kalau kita menyerah dan kembali ke zona nyaman kita, apa iya kita mau disitu terus-terusan? Yang asyik itu jika kita sudah babak belur, kita bangkit lagi dan menaklukkan tantangannya. Gak mudah sih, berat malahan. Tapi gak ada kan sesuatu yang terjadi begitu mudah di dunia ini? Ingat ya, hidup kita bukan film yang mau ini ada, kesusahan tetiba ada jalan keluar secepat kilat. Allah sendiri berfirman dalam surat Al Insyirah : Bersama kesulitan itu ada kemudahan. Jadi datangnya berbaregan ya, bukan datang kemudahan setelah kesulitan.

Memilih sudah pasti susah. Apalagi kalau kita tipe pemilih. Memilih baju atau sepatu aja susah, apalagi memilih sesuatu untuk hidup (eaaa….eaaa…). Paling gak, jika pilihan kita salah, ada kesempatan bagi kita untuk memperbaikinya dan kita bisa belajar dari kesalahan kita itu. Mencoba sesuatu yang menakutkan, dan selesai, paling tidak banyak cerita yang bisa kita dapatkan dari situ. Orang-orang pun akan bangga dengan kita. Daripada mau mencoba tapi gak jadi-jadi….capeek deehh…hehehe…

Jadi nih ya, belajar dari si ibu di angkot tersebut, si ibu telah menaklukkan apa yang gak penting bagi hidupnya yaitu omongan orang-orang. Saat itu itu memutuskan untuk keluar bersama anak-anaknya, pasti ada aja yang akan ngomong : “ngapain sih bawa-bawa anak segala”, “gak repot apa tuh ngajak anak-anak”, “mendingan juga diam di rumah” bla bla bla. Pada saat si ibu berhasil sampai rumah dengan selamat sentausa, alih-alih bangga, malah timbul cibiran berikutnya. Hadeeehhh….pecel deh….hahaha…

Sama seperti saat saya memutuskan backpackingan. Sejuta Julitawan dan Julitawati pasti tak henti-hentinya bicarain saya : “Mending uangnya ditabung,” “Gaya bener sih jalan-jalan ke luar negeri segala”, “Ngabis-ngabisin uang aja,” etcetera. Saya sih, terima masukan yang positif aja, tapi semua keputusan tetap ada di saya. Cibiran para julitawan dan julitawati, saya biarkan ngambang di selokan…hahahaha…

Sekali lagi, hidup itu adalah pilihan. Dan kita ditakdirkan untuk memilih jalan hidup kita sendiri. Mau pergi atau gak pergi, itu pilihan. Mau tetap stay di rumah atau ngebolang, itu juga pilihan. Kita bertanggung jawab atas pilihan kita masing-masing. Tapi masa sih hari gini masih ada yang di rumah terus. Pas diajak ke Dufan, dia bilang : “Ini tempat apaan yak?” Atau pas diajak naik bis kuning UI dia nanya : “Bayar berapa ya?” Saat naik pesawat dia bertanya : “Pakai seatbealt nya gimana nih?” Ya ampyyuuuunnn….. hahaha…. Tapi apapun itu, ya udah, itu pilhanmu!***(yas)





Bogor, 7th of September 2017
@Cibogy, 18.00 pm
Menunggu hujan, sambil bernyanyi rindu….
(eea…eaaaa….)



No comments: