- dedikasi sepenuh cinta untuk para ustadzku tercinta -
Suara-suara
itu terdengar samar-samar di telinga saya. Suara seseorang sedang mengetes
mikrofon diikuti dengan backsound musik sebuah nasyid yang kuhafal dengan
jelas.
“Besok
akan ada kampanye,” tukas kakak saya memberitahu.
Wedeewww…
kampanye! Sudah berapa lama saya tidak ikut acara yang seperti itu. Terakhir,
saat pemenangan pasangan Prabowo. Ah, saya saja sudah mulai jarang mengikuti
kegiatan-kegiatan partai. Jadi malam itu belum ada desiran hati untuk hadir
pada kampanye besok hari yang kebetulan tempatnya dekat dengan rumah saya.
Namun
pagi hari mood saya berubah. Mendengar lantunan ayat-ayat suci yang dibacakan
disana, serta backsound nasyid yang juga menggelora akhirnya membawa saya pada
keinginan, “Gw pengen hadir!”. Jadilah saya segera meluncur kesana, Lapangan
Soemantri Brodjonegoro alias lapangan kuningan. Persiapan saya pun mantab,
kamera mirrorless dengan lensa panjang, dan hape full battery. Kebetulan kakak ipar saya juga punya baju
pasangan No.3 yang belum dipakainya, jadi ya lumayan lah buat saya aja…
hahahaha…
Gemuruh
di dada benar-benar terasa menggelora. Apalagi pas saya datang, sedang
dibawakan orasi oleh salah seorang Ustadz. Saya bergegas merangsek ke depan.
Rugi lah ya kalau gak ke depan.
Tak
lama doapun dibacakan. Beberapa orang menitikkan air mata haru mendengar harap
dari doa yang dibacakan. Di samping saya sampai sesegukan. Saya sendiri…. Nangis
gak ya? Heheheh….
Acara
pun berjalan dengan penuh semangat dan full adrenaline! Lompat-lompat, tepuk
tangan, bertakbir, mengepalkan tangan ke atas dll. Terasa semangat saya membara
kembali. Membakar motivasi yang sebelumnya masih asyik tertidur lelap.
Tetapi
saya melihat sesuatu yang sungguh mencekat leher dan hati saya. Ustadz-ustadz
itu masih berdiri tegak disana. Ustadz-ustadz yang sudah tidak muda lagi. Yang
kutemukan masih sama, baik saat pertama kali aku mengenal mereka sampai
sekarang aku sudah familiar dengan mereka. Mereka berdiri tegak, menjadi garda
terdepan dakwah ini. Hatiku gerimis.
Penampilan
mereka sudah bukan seperti 16 tahun yang lalu. Banyak yang wajahnya sudah
tergerus waktu, rambut yang memutih, dan fisik yang tidak sama lagi. Tetapi
pancaran cahaya wajah-wajah itu sungguh meneduhkan, reassuring our heart.
Mereka tetap bersahaja, jauh dari tuduhan-tuduhan yang selama ini mendera
mereka.
“Dih,
ustadz sih begitu, berkoar-koar ceramah sana sini tapi gak bisa praktekin apa
yang dia bilang sendiri!”
“Nyuruh
orang buat zuhud, tapi dia sendiri malah numpuk kekayaan,”
“Teriak-teriak
nyuruh kader tapi dia sendiri gak ngapa-ngapain,”
Tuduhan-tuduhan
itu sempat berseliweran di telingaku maupun terpampang jelas di linimasa sosmed
saya. Geram sudah pasti. Tapi, apa daya kami. Tuduhan itu entah kepada siapa
saya bisa bertabayyun. Beberapa yang termakan tuduhan ini perlahan-lahan mundur
dari dunia tarbiyah dan memproklamirkan diri “netral”. Beberapa yang lain tetap
samina wa athona. Mereka tidak termakan isu ataupun gossip murahan. Saya
sendiri mencoba meyakinkan diri bahwa sesungguhnya keilmuan para assatidz itu
lebih mumpuni daripada saya. Istilahnya, saya tuh cuma remah-remah pastel
doang. Jadi berlagak sok lebih baik dari mereka really BIG NO! Walaupun dalam
beberapa hal saya hanya tidak suka dengan beberapa orang di sekeliling mereka
yang terasa memanfaatkan kebaikan ustadz tersebut.
Maka
saya berdiri sambil menyaksikan para ustadz-ustadz itu. Terasa mereka
“memaksakan” diri mereka mengikuti keadaan. Mereka berbaur dengan kalangan yang
menurut saya “gak banget”. Mereka berdiri melakukan senam bersama para kader
dan simpatisan yang hadir. Mereka melakukan hal yang “gak mereka banget” demi
dakwah yang menyeluruh dan umum. Hati saya gerimis mengundang lagi.
Dakwah
sudah sedemikan berkembang. Bukan lagi eksklusif, tapi sudah inklusif dan
menyeluruh. Maka bagi para dai diperlukan penyesuaian dengan zaman yang ada.
Fasenya pun sudah terang-terangan. Dan para ustadz-ustadz itu try to fit in.
Berbaur namun tetap dengan kepribadian mereka yang sholeh dan menjaga dirinya.
Hingga air mata saya menetes melihat Ustadz Hidayat Nur Wahid, Almuzzamil
Yusuf, Sohibul Iman, dll. Wajah mereka masih teduh sebagaimana dulu. Penampilan
mereka masih bersahaja. Tutur kata mereka masih maut yang bisa membius dan
memboost semangat saya.
“Tahapan
dakwah kita sudah umum, Yass. Berbaur, tapi kau jangan lebur dengannya,”
Saya
pun teringat kisah-kisah heroik mereka yang sampai kepada saya baik dari
tulisan maupun cerita langsung.
Seorang
Bunda (begitu aku memanggilnya), ustadzah zaman pergerakan dulu, yang harus
pontang panting kesana kemari demi memperjuangkan karya yang bermuatan Islami.
Padahal kalau dia mau, dia bisa menikmati hidupnya dengan penghasilan yang
lebih dari cukup.
Juga
seorang ustadz yang tak ingin kusebutkan namanya. Begitu humble dan sederhana.
Dia berada di tengah-tengah massa yang hadir saat itu. Berbaur sambil mengikuti
semua yel yel yang diteriakkan. Dia salah satu orang yang penting. Bisa saja
dia berada di deretan para tokoh yang hadir saat itu di atas panggung, tapi
kerendahan hatinya membawa dia mengikuti semua acara bersama massa.
Yang
meyumbangkan uangnya untuk menyewa bis, untuk menarik konstituen, untuk membuat
spanduk, dan lainnya. Apakah mereka mendapatkan timbal balik? Apakah setelah
seseorang itu terpilih, mereka mendapatkan upah? Wallallahi, Tidak! Mereka
ikhlas. Saya yakin 100%. Maka tak heran jika rezki selalu mengalir kepada
mereka dari arah yang tak disangka-sangka.
Dan
malam sebelumnya, saya sempat menonton rekaman Ustadz Almuzammil Yusuf dalam
interupsinya di sidang DPR. Beliau memberikan statement tentang tulisan syahadat yang ada di Bendera Indonesia, yang
menyebabkan seseorang dipanggil polisi karena dianggap menodai bendera. Ustadz
Muzzammil membacakan pernyataannya dengan berapi-api. Hingga pada saat beliau
menyatakan siapa yang setuju dengannya tentang pembelaan terhadap kalimat
syahadat itu, maka hampir seluruh anggota DPR berdiri mendukungnya. Im
goosebump. Terharu. Suara saya merasa terwakili. Dan saya merasa bangga dengan
ustadz-ustadz yang berjuang di kancah politik. Bukan untuk menjadikannya
sebagai pundi-pundi keuangan dan kebanggaan, tapi sebagai sarana mewujudkan
dakwah yang lebih luas lagi. Ya Allah, ustadz….
Tak
terbayangkan betapa repotnya mereka dari yang sehari-hari hanya sekedar
menghafal ayat suci Al-Qur’an, mengkaji Islam, membahas sirah dan hadits,
sekarang mereka “dipaksa” untuk mengerti hukum Indonesia, pasal-pasal,
undang-undang, dan lain sebagainya yang bagi mereka asing. Ya Allah, sedih dan
terharu membayangkannya.
Maka
saya berada di tengah-tengah gerombolan manusia hanya bisa menatap haru kepada
para ustadz-ustadz itu. Meneriakkan dalam hati rasa terima kasih yang mendalam.
Berdoa agar Allah selalu menjaga mereka, menyehatkan mereka, dan menjauhkan
mereka dari fitnah-fitnah keji.
Jakarta, 6th of February 2017
at my room, 23.43 pm
***
Video Ustadz Almuzzamil Yusuf menginterupsi sidang DPR
Suara tentang penistaan
Bersuara tentang Penangkapan Nurul Fahmi
Foto-foto Kampanye saya
Ustadz Abdul Muis
Pembacaan Doa
Vote number 3
Izzatul Islam
Pak Adang Daradjatun, I voted him 10 years ago
Ustadz Sohibul Iman
Ustadz Hidayat Nur Wahid
Mr Handsome, Sandiaga Uno
My real President, Bapak Prabowo
Gubernur DKI 2017-2022, Anies Baswedan (Insya Allah)
No comments:
Post a Comment