Monday, June 21, 2021

Values VS Results!

 



"Sebaiknya menggunakan dua device aja, hape dan laptop agar tidak terjadi kecurangan"
"Wah kok bisa ya, anak itu nilainya 100 semua? Padahal khan...."

Obrolan ini beberapa kali sering saya dengar dari rekan-rekan saya. Belajar online menciptakan murid-murid baru yang memiliki nilai yang fantastis padahal selama ini jika belajar tatap muka anak itu memiliki nilai yang pas-pasan bahkan cenderung di bawah KKM.

Saya teringat kejadian beberapa puluh tahun lalu saat Ujian nasional kelulusan SMA. Saya yang waktu itu tercatat sebagai juara umum prodi IPS berhasil dikalahkan oleh seorang teman saya yang ranking di kelas aja kagak. Waktu itu dia menjadi pemilik NEM tertinggi seangkatan. Bayangkan aja NEM nya dia itu rata2 9 koma. Ulala...

Waktu zaman itu memang bocoran merebak luas dan seorang teman sekelas saya sampai minta bantuan saya untuk mengisi soal bocoran itu. Yekaleee.... Saya sempat melihat sekilas soal itu dan ternyata plek ketiplek sama dengan soal yang keluar pada hari H. Teman saya itu kebetulan orang tuanya memiliki percetakan yang mencetak soal UN tersebut! OMG!

Kecewa? Tentu aja. Bagaimana bisa temen yang malas belajar dapat nilai tinggi sedangkan saya nomor kesekiannya. Sempat beredar UN mau diulang, tapi you know lah... Pemerintah Indonesia getooo....

Kemudian hari saya baru tersadar saat ada orang yang berkata pada saya : "Nilai tinggi jika dilakukan dengan cara yang tidak benar tentu tidak ada barokahnya. Suatu yang dimulai dengan kecurangan maka orang tersebut akan terus melakukan kecurangan. Tentu kita tidak ingin menjadi bagian dari orang-orang yang curang khan? Tau sendiri kan bagaimana Al-Qur'an menggambarkan orang-orang yang curang."

Saya pribadi saat menjalankan kelas online ini memberikan kepercayaan penuh kepada anak dan orang tua. Jika ulangan harian maupun PTS dan UAS, saya tidak akan ikut campur dengan bagaimana melaksanakannya. Saya hanya menekankan "kejujuran yang utama" karena kita sama sekali tidak bisa mengontrol apa yang terjadi di seberang laptop, khan? Mau pakai hape atau laptop bersamaan, jika memang value anak itu sudah tidak jujur maka akan menjadi habbit bagi anak itu yang menjadi cerminan dari orang tuanya.

Ada anak yang di real class biasa-biasa aja tapi selama online learning ini nilainya perfect 100 semua. Saya gak bisa berbuat banyak, karena memang yang muncul di result GF saya, anak itu memang menjawab semua pertanyaan dengan benar. Prosesnya? Wallahu'alam bishowab.

Anak yang pintar? Ada yang perfect juga dan ada yang salah satu atau dua nomer.

Paling saat nilai dirilis saya akan mengingatkan pada murid-murid, "Inget ya, kejujuran yang utama. Murid dapat nilai 100 itu udah banyak, tapi murid yang memiliki nilai-nilai kejujuran itu langka." atau pura2 nuduh sambil bercanda.

Saya berusaha memberikan dan mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan kepercayan kepada mereka. Memang saya tidak tahu prosesnya, tapi kan ada Allah yang meihat. Jika mereka yang diberikan kepercayaan lalu melakukan kecurangan, itu bukan kerugian bagi saya itu tetapi problem hidup dia yang terbiasa berbuat curang. Jika ketahuan, akan saya tandai dan jika tidak ketahuan, itu urusan dia sama Allah.

Apalagi yang saya ajarkan anak-anak kecil (SD). Cukup latih dia dengan memberikan kepercayaan dan nilai-nilai kejujuran. Maksa-maksa pake banyak device cuma akan membuat mereka tambah tertekan. Yang kita lihat proses bukan result. Kalau mereka tidak jujur atau menyalahgunakan kepercayaan, biarkan aja. Toh dalam proses itu tidak harus selalu lurus khan? Cukup nasehati mereka jika ketahuan. Itu akan menjadi patokan mereka untuk melakukan tindakan selanjutnya.

Tapi bagaimana anak-anak kelas 1 atau 2 SD bisa melakukan kecurangan dan tindakan tidak jujur? Mereka meniru! Siapa yang ditiru? ORANG TUA!

Banyak orang tua yang takut anaknya dapat nilai jelek, jadi mereka berusaha mati-matian membantu sang anak agar nilainya tetap bagus. Jika dalam ulangan ada soal yang disalahkan padahal jawabannya sudah dikasih tahu orang tua, alih alih anaknya yang protes, malah orang tuanya yang protes. Sebagian orang mungkin menganggap ini wajar karena mewakili anaknya yang masih kecil dan belum berani. Jutru hal ini, bagi saya, mematikan keberanian dan sikap kritis anak. Orang tua akan berkata "Kok disalahkan sih jawabannya? Sini mama tanya guru kamu!" dengan begini si anak setiap ada permasalahan secara tidak langsung akan membiarkan orang tua nya untuk menyelesaikan masalahnya. Jika dari awal si anak yang disuruh maju untuk bertanya pada gurunya, maka selain melatih keberanian juga akan tertanam nilai : kalo merasa ada yang salah kamu harus menyelesaikan sendiri.

Gw pernah loh diteror orang tua. Di WA berkali-kali dengan kata-kata mengintimidasi seolah dia adalah orang yang paling benar. Sampai bilang "Kalau sampai anak saya depresi bagaimana?" padahal anak itu pernah menulis saya sebagai guru favoritnya. Dalam hati, saya bilang "Iya, depressi gegara punya ortu kek elo!" wkwkwk

Ketika orang tua mulai membantu anak dalam ulangan online atau yang lebih parahnya menyewa orang atau lagi mengerjakan ulangan si anak, maka si anak akan mencontoh apa yang dilakukan si orang tua. Otak mereka akan merekam bahwa "berbuat curang itu gak apa apa loh, orang tua saya aja melakukannya."

Duh, akhirnya terbentuklah mindset pada anak itu yang jika tidak diingatkan dan diluruskan akan terus terbawa dalam karakternya.

Anak-anak pintar tentu tidak akan kesulitan jika mengerjakan ulangan online tanpa didampingi orang tua. Atau jika orang tua yang menemani mereka benar, maka mereka yang menjadi perwakilan dari gurunya untuk mengawasi ulangan. Baik belajar online ataupun offline, orang tua tipe seperti ini akan tetap menekankan nilai-nilai kejujuran dan kerja sendiri. Jadi orang tua adalah kunci.

Saya pernah mendapati teman yang ingin memberikan piagam ala ala buat anak-anak di kelas yang nilainya 100. Terus saya kasih masukan deh : "Belajar online kayak begini jarang yang nilainya murni, ngapain juga ngasih penghargaan nilai tertinggi untuk anak yang belum tentu mengerjakannya dengan jujur. Bisa-bisa mereka menganggap harus mendapatka nilai 100 dengan cara apapun agar bisa mendapat penghargaan."

Salah satu dampak buruk dari sistem reward dan ranking adalah menciptakan anak yang ambisius, bersaing, patah semangat, pendendam dan menghalalkan segala cara untuk menjadi yang terbaik. Di sekolah IHF (Indonesia Heritage Foundation) tempat saya pernah mengikuti pelatihan karakter, menghilangkan sistem ranking dan tidak memberikan hasil ulangan kepada anak-anak. Semua nilai akan dikasih tahu kepada orang tua. Mereka menekankan value bukan result. Mereka membentuk karakter anak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Nilai dan lain-lain hanyalah pelengkap saja. Jadi anak-anak benar-benar menikmati proses belajar tanpa penuh tekanan.

Mungkin jika ulangannya dilakukan secara offline di kelas sebagaimana biasanya, boleh-boleh aja memberikan piagam untuk nilai terbaik karena mereka mengerjakan di kelas dan terpantau oleh guru.

Sayangnya sistem pendidkan di Indonesia ya seperti itu. Semua ingin menjadii yang terbaik hingga segala cara dilakukan. Gonta ganti kurikulum sehingga guru dan murid disibukkan dengan teori sampai mabok. Semua tujuannya adalah nilai, nilai dan nilai. Akhlak bobrok? Gak peduli! Maka orang-orang akan berpikir : gak apa-apa bobrok yang penting pintar, yang penting juara, yang penting menang!"

Daaaaan.... lihatlah generasi Z sekarang. Terbiasa mengucapkan kata-kata kasar ataupun jorok serta bertingkah laku nyebelin. Lihat aja di tiktok, bejibun sound dengan kata-kata kotor atau video "artis" dadakan yang gak berisi sama sekali. Lihat juga komentar di akun-akun gossip dari netizen yang bikin gw istighfar. Ya karena tadi, akhlak itu bukan nilai utama. Value itu bukan hal penting.

Kalau udah begini siapa yang salah? Gue? Temen-temen gue? Emak gue?? (kibas rambut ala Cinta di A2DC).

Jadi... ayo jangan terbalik-balik. Bukan "Gak apa-apa akhlak bobrok, gak apa-apa gak jujur, gak apa-apa nyontek, gak apa-apa berbuat curang, yang penting bisa juara kelas, bisa jadi direktur, bisa jadi PNS, bisa masuk PTN, dll dll." Coba diubah dengan : "Nilai tinggi, jabatan tinggi, jadi PNS, masuk PTN favorit, akan kehilangan makna jika dilakukan dengan cara curang dan tidak jujur. Karena berawal dari akhlak yang baiklah maka kehidupan kita akan menjadi baik. Insya Allah."

Tapi paling klo gw ingetin gini biasanya dijawab : "Halah... orang lain juga ngelakuin, bukan gue doang!"

Kalo jawabannya udah begitu, ya udah, terserah lo sama keluarga lo aja! Wkwkwk.
***

Bekasi, 21st of June 2021, 11.20 am
@ My office

#keepwriting #teacherjournal #talk2talk


No comments: